“Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.” (Matius 28:20)
Bab IV
Yesus Bersamaku
Yesus sungguh hadir dalam Hosti yang telah dikonsekrasikan oleh Imam Katolik

“Engkau datang kepadaku dan mempersatukan DiriMu secara akrab mesra dengan diriku dalam rupa santapan. Darah-Mu sekarang mengalir dalam darahku; Jiwa-Mu, ya Tuhan yang berinkarnasi, merasuki jiwaku, memberinya keberanian dan kekuatan. Betapa mukjizat yang mengagumkan! Siapakah gerangan yang pernah membayangkan ketakjuban yang begitu rupa!” ~ St Maximilian Kolbe

Kehadiran Nyata

Kehadiran Nyata Yesus dalam tabernakel-tabernakel kita merupakan Misteri Allah, Anugerah Allah, Kasih Allah. Dalam Misa Kudus, pada saat Konsekrasi, ketika imam memaklumkan kata-kata ilahi Yesus, “Inilah tubuh-Ku… Inilah darah-Ku” (Matius 26:26-27), roti dan anggur menjadi Tubuh dan Darah Yesus. Substansi roti dan anggur tidak ada lagi, sebab telah ditransformasikan - di“transsubstansiasi”kan - menjadi Tubuh dan Darah ilahi Yesus. Hanya rupa roti dan anggur yang tetap, guna mengekspresikan realita makanan dan minuman, seturut sabda Yesus, “Daging-Ku adalah benar-benar makanan dan darah-Ku adalah benar-benar minuman” (Yohanes 6:55).

Di balik selubung, samaran Hosti, dan dalam Piala, ada Pribadi Ilahi Yesus dengan Tubuh, Darah, Jiwa dan Ke-Allah-an-Nya. Inilah yang dianugerahkan kepada siapa saja yang menyambut Komuni Kudus, dan yang terus-menerus tinggal dalam Hosti yang telah dikonsekrir yang ditempatkan dalam tabernakel.

St Ambrosius menulis, “Bagaimanakah perubahan roti menjadi Tubuh Kristus terjadi? Melalui Konsekrasi. Dengan kata-kata apakah Konsekrasi diadakan? Dengan kata-kata Yesus. Ketika tiba saatnya mengadakan ketakjuban yang sakral ini, imam berhenti berbicara sebagai dirinya sendiri; ia berbicara dalam pribadi Yesus.”

Kata-kata konsekrasi adalah kata-kata yang paling mengagumkan serta menakjubkan yang Tuhan anugerahkan kepada Gereja. Kata-kata konsekrasi memiliki kuasa, melalui imam, untuk mengubah roti dan anggur menjadi Tuhan Yesus yang tersalib! Kata-kata konsekrasi mengadakan tindakan yang ajaib serta misterius ini dengan kuasa mahatinggi yang melampaui kuasa para serafim, dan hanya dimiliki Tuhan dan para imam-Nya. Janganlah heran bahwa ada imam-imam kudus yang menderita hebat saat mereka mengucapkan kata-kata ilahi ini. St Yosef dari Cupertino dan pada masa kita, St Padre Pio dari Pietrelcina, kelihatan tertindih dukacita, dan hanya dengan susah payah dan tersendat-sendat mereka berhasil menyelesaikan dua rumusan konsekrasi.

Imam bertanya kepada St Yosef dari Cupertino, “Bagaimana engkau dapat mendaraskan keseluruhan Misa dengan begitu baik, dan tergagap di setiap suku kata-kata konsekrasi?”

Santo kita menjawab, “Kata-kata sakral konsekrasi adalah bagaikan bara yang berkobar-kobar di bibirku. Ketika memaklumkannya, aku harus melakukannya seperti orang yang harus menelan makanan yang panas mendidih.”

Melalui kata-kata ilahi Konsekrasi inilah Yesus ada di altar-altar kita, dalam tabernakel-tabernakel kita, dan dalam Hosti-Hosti. Tetapi bagaimanakah semuanya ini terjadi?

“Bagaimana mungkin,” tanya seorang Muslim yang terpelajar kepada seorang uskup misionaris, “roti dan anggur menjadi Tubuh dan Darah Kristus?”

Uskup menjawab, “Engkau kecil ketika dilahirkan. Engkau bertumbuh besar sebab tubuhmu mengubah makanan yang engkau makan menjadi tubuh dan darah. Jika tubuh manusia dapat mengubah roti dan anggur menjadi tubuh dan darah, betapa Tuhan dapat melakukannya jauh terlebih mudah.”

Orang Muslim pun bertanya lagi, “Bagaimanakah mungkin Yesus seluruhnya dan seutuhnya hadir dalam sebuah Hosti yang kecil?”

Uskup menjawab, “Lihatlah pemandangan di hadapanmu dan renungkanlah betapa matamu teramat kecil dibandingkan dengannya. Sekarang, dalam matamu yang kecil itu ada gambaran akan wilayah yang luas ini. Tidakkah Tuhan dapat melakukan dalam realita, dalam PribadiNya, apa yang dilakukan dalam kita dengan gambaran itu?”

Lagi, orang Muslim itu bertanya, “Bagaimanakah mungkin Tubuh yang sama hadir pada saat yang bersamaan di segenap gereja-gerejamu dan di semua Hosti yang telah dikonsekrir?”

Uskup menjawab, “Tidak ada yang mustahil bagi Allah - dan jawaban ini sesungguhnya sudahlah cukup. Tetapi alam juga menjawab pertanyaan ini. Ambillah sebuah cermin, campakkanlah ke lantai dan biarlah pecah berkeping-keping. Masing-masing pecahan memantulkan gambar yang sama seperti yang tadinya dipantulkan oleh cermin yang utuh. Demikian pula, Yesus yang sama memberikan DiriNya, bukan sekedar gambaran, melainkan secara nyata, dalam setiap Hosti yang telah dikonsekrir. Ia sungguh hadir dalam tiap-tiap Hosti.”

Ketakjuban Ekaristik dicatat dalam riwayat hidup St Rosa dari Lima, Beata Angela dari Foligno, St Katarina dari Siena, St Filipus Neri, St Fransiskus Borgia, St Yosef dari Cupertino, dan banyak para kudus lainnya, yang inderanya melihat Kehadiran Nyata Yesus dalam tabernakel dan dalam Hosti yang telah dikonsekrir, sementara mereka melihat Yesus dengan mata kepala mereka sendiri atau mencium aroma harum-Nya yang tak terlukiskan. Ada juga pada kita kisah bagaimana St Antonius dari Padua suatu ketika membuktikan Kehadiran Nyata Yesus kepada seorang yang tak percaya dengan menunjukkan seekor keledai lapar yang memilih untuk berlutut di hadapan sebuah monstrans dengan Sakramen Mahakudus di dalamnya, daripada melahap sekeranjang gandum yang ditempatkan di sebelah monstrans. Juga kisah mengagumkan mengenai St Alfonsus M. Liguori kala ia menyambut Komuni Kudus di ranjang pembaringan tempat ia tergolek sakit. Suatu pagi, begitu menerima hosti, ia mengeluh keras dengan bercucuran airmata, “Apakah yang engkau lakukan ini. Engkau membawakan bagiku hosti tanpa Yesus - hosti yang tidak dikonsekrasikan!” Masalah ini diselidiki dan akhirnya diketahui bahwa imam yang mempersembahkan Misa pagi itu begitu galau pikirannya hingga ia melewatkan semuanya dari Kenangan kepada yang Hidup hingga Kenangan kepada yang Mati dalam Doa Syukur Agung, dan karenanya telah menghilangkan sama sekali bagian konsekrasi roti dan anggur. Santo kita mengenali ketidakhadiran Tuhan dalam hosti yang tidak dikonsekrir!

Banyak lagi kisah-kisah dari riwayat hidup para kudus yang dapat kita sebutkan. Begitu juga, peristiwa-peristiwa eksorsism di mana orang-orang yang kerasukan dibebaskan dari setan melalui Ekaristi. Juga, kita dapat menyebutkan kesaksian-kesaksian besar iman dan kasih yang adalah Kongres-kongres Ekaristi dan tempat-tempat ziarah Ekaristik yang terkenal (seperti Turin, Lanciano*, Siena, Orvieto, dan tempat ziarah St Petrus dari Patierno); tempat-tempat ziarah yang bahkan hingga hari ini menawarkan kesaksian-kesaksian yang terpercaya serta up-to-date mengenai peristiwa-peristiwa menakjubkan yang terjadi di masa lalu yang menegaskan Kehadiran Nyata.

* Lihat Suplemen di bagian akhir buku ini.

Tetapi, melampaui segala fakta sejarah dan bukti-bukti ini, adalah iman yang olehnya kebenaran akan Kehadiran Nyata diyakini dan di atas mana kita wajib mendasarkan keyakinan yang tak tergoyahkan bahwa itu adalah kebenaran. “Yesus adalah kebenaran” (bdk Yohanes 14:6), dan Ia telah meninggalkan Ekaristi sebagai misteri iman bagi kita untuk kita percayai dengan segenap akal budi dan segenap hati kita.

Ketika kepada Pujangga Gereja yang kudus, St Thomas Aquinas, dibawakan Viaticum Kudus, ia bangkit dari abu di mana ia terbaring, lalu berlutut, dan berkata, “Aku tak dapat terlebih lagi percaya bahwa Ia yang hendak aku sambut adalah Putra dari Allah yang Kekal, bahkan andai aku mendapatkan pencerahan yang amat terang mengenainya yang seribukali lebih terang dari iman.”

Mysterium Fidei (Misteri Iman)

Kata-kata ini dipilih Paus Paulus VI untuk memberi judul ensikliknya mengenai Ekaristi, sebab realita-realita ilahi tiada memiliki sumber kebenaran dan keyakinan yang terlebih tinggi dari teologi iman. Karena iman inilah para kudus beroleh ganjaran melihat Yesus dalam Hosti, meski mereka tak menghendaki bukti lebih jauh dari apa yang telah mereka miliki, yakni Sabda Allah. Paus Gregorius XV memaklumkan bahwa St Theresia dari Yesus (yang dikanonisasikannya) “melihat Tuhan kita Yesus Kristus, yang hadir dalam Hosti, begitu jelas nyata dengan mata rohaninya, hingga ia mengatakan ia tidak iri akan kebahagiaan para kudus yang melihat Tuhan dari muka ke muka di surga.” Dan St Dominikus Savio suatu kali menulis dalam buku hariannya, “Aku tak memerlukan suatu apapun di dunia ini untuk menjadi bahagia. Aku hanya perlu melihat Yesus di surga, yang sekarang aku lihat dan sembah di altar dengan mata iman.”

Dengan iman inilah hendaknya kita menghampiri Ekaristi Kudus dan menempatkan diri di hadirat Kehadiran Ilahi-Nya, mengasihi Yesus dalam Sakramen Mahakudus dan menghantar yang lain mengasihi-Nya.

Kunjungan kepada Yesus

Yesus ada dalam tabernakel-tabernakel kita, dan fakta ini kita sebut Kehadiran Nyata. Yesus yang sama yang dianungi oleh Santa Perawan Maria yang Tak Bernoda dalam tubuh perawannya, ada dalam Hosti putih yang kecil. Yesus yang sama yang didera, yang dimahkotai duri, dan yang disalibkan sebagai Kurban demi dosa-dosa dunia, tinggal dalam siborium dalam Hosti sebagai Kurban yang dipersembahkan demi keselamatan kita. Yesus yang sama yang bangkit dari antara orang mati dan naik ke surga, di mana Ia sekarang bertahta dengan mulia di sisi kanan Bapa, tinggal di altar-altar kita, dikelilingi oleh para malaikat yang tak terhitung banyaknya yang bersembah sujud - suatu penampakan yang dilihat Beata Angela dari Foligno dalam suatu penglihatan.

Demikianlah Yesus sungguh bersama kita. “Yesus di sana!” - Imam kudus dari Ars tak dapat selesai mengulangi ketiga kata ini tanpa mencucurkan airmata. Dan St Petrus Yulianus Eymard berseru dengan semangat sukacita, “Di sanalah Yesus! Karenanya kita semua patut mengunjungi-Nya!” Dan kala St Theresia dari Yesus mendengar orang mengatakan, “Andai aku hidup di jaman Yesus … Andai aku melihat Yesus … Andai aku berbicara dengan Yesus …,” maka ia akan menanggapi dengan penuh roh, “Tetapi, bukankah kita dalam Ekaristi memiliki Yesus yang hidup, yang sungguh dan nyata hadir di hadapan kita? Mengapakah mencari yang lain?”

Para kudus jelas tidak mencari yang lain. Mereka tahu di mana Yesus, dan mereka tiada menghendaki yang lain selain dari hak istimewa bersama-Nya tanpa terpisahkan, baik dalam kasih maupun dengan kehadiran fisik. Senantiasa bersama dengan Kekasih kita - bukankah ini salah satu dari hal-hal utama yang dikehendaki cinta sejati? Ya sungguh; dan karenanya, kita tahu bahwa kunjungan-kunjungan kepada Sakramen Mahakudus dan Pujian kepada Sakramen Mahakudus merupakan rahasia pun bukti kasih para kudus. Waktu yang dilewatkan dalam suatu kunjungan kepada Yesus adalah sepenuhnya waktu kasih - kasih yang akan terus kita amalkan di Firdaus, sebab hanya kasih saja yang “tidak berkesudahan” (1 Korintus 13:8). St Katarina dari Genoa tidaklah salah ketika mengatakan, “Waktu yang aku lewatkan di hadapan tabernakel adalah waktu terbaik yang aku lewatkan dalam hidupku.”

Marilah kita lihat beberapa teladan para kudus.

Santo Maximilian M. Kolbe, rasul Santa Perawan yang Tak Bernoda, biasa melakukan rata-rata sepuluh kunjungan dalam sehari kepada Sakramen Mahakudus - suatu praktek yang ia mulai semenjak masih seorang pelajar. Sepanjang tahun ajaran sekolah, saat jeda di antara pelajaran, ia akan bergegas pergi ke kapel agar di pagi hari ia dapat melakukan lima kunjungan kepada Yesus. Di sepanjang akhir hari itu, ia melakukan lima kunjungan lagi. Di antara kunjungan-kunjungan ini, ada satu yang selalu dianggapnya sebagai perhentian wajib pada waktu jalan siang. Yakni dalam sebuah gereja (di Roma) di mana Sakramen Mahakudus ditahtakan.

Juga, St Robertus Bellarmino semasa mudanya, sementara dalam perjalanan ke dan dari sekolah, biasa melewati sebuah gereja sebanyak empat kali. Dengan demikian, empat kali sehari ia akan berhenti dan melakukan kunjungan kepada Yesus.

Berapa kalikah kita melewati gereja? Adakah kita mungkin tak peduli dan acuh? Para kudus berharap mereka akan menjumpai sebuah gereja dalam perjalanan mereka; sebaliknya, kita acuh tak acuh, bahkan meski kita melihat gereja di hadapan kita. Venerabilis J.J. Olier menulis, “Apabila ada dua jalan yang dapat menghantarku ke suatu tempat tertentu, aku akan memilih jalan di mana aku akan menjumpai lebih banyak gereja, agar aku lebih dekat dengan Sakramen Mahakudus. Apabila aku melihat suatu tempat di mana Yesus-ku berada, ah betapa bahagianya aku, dan aku akan berkata, `Engkau di sini, ya Allah-ku, ya Segalanya bagiku.'”

St Alfonsus Rodrigues adalah seorang penjaga pintu. Tugas kewajiban kerap membawanya ke dekat pintu kapel; dan lalu ia tidak akan pernah lupa untuk setidak-tidaknya menjenguk ke dalam guna menyampaikan pandangan penuh kasih kepada Tuhan kita. Apabila ia akan meninggalkan rumah dan apabila ia telah kembali, ia senantisa mengunjungi Yesus untuk memohon berkat-Nya.

Pemuda St Stanislaus Kostka yang bagai malaikat, memanfaatkan setiap waktu bebasnya untuk bergegas pergi mengunjungi Yesus dalam Sakramen Mahakudus. Apabila ia benar-benar tak dapat melakukannya, ia akan berpaling kepada Malaikat Pelindungnya dan berkata dalam hati kepadanya, “Malaikatku terkasih, pergilah ke sana untukku.” Dan betapa suatu tugas yang luhur! Mengapakah kita tidak menyampaikan permohonan serupa? Malaikat Pelindung kita akan dengan senang hati melakukannya. Sesungguhnya, kita tidak dapat memintanya melakukan sesuatu yang terlebih luhur dan terlebih suka hati ditaatinya.

St Agustinus meninggalkan bagi kita suatu catatan mengenai ibundanya - St Monika - yang menceritakan bagaimana, setiap hari, di samping ikut ambil bagian dalam Misa, dua kali sehari ia mengunjungi Tuhan kita, sekali di waktu pagi dan sekali di waktu sore. Seorang ibunda yang kudus lainnya, yang adalah ibunda dari tujuh anak, biasa melakukan hal yang sama; dialah Beata Anna Maria Taigi. Dan St Wenseslaus, Raja Bohemia, kerap mengadakan kunjungan kepada Sakramen Mahakudus di gereja-gereja, baik siang maupun malam, bahkan dalam musim dingin yang menusuk.

Berikut adalah suatu teladan bahagia lainnya dari sebuah keluarga kerajaan. Ketika St Elizabeth dari Hungaria masih seorang gadis kecil dan biasa bermain di sekitar istana bersama teman-temannya, ia selalu memilih tempat dekat kapel agar setiap saat, tanpa menarik perhatian orang, ia dapat berhenti di depan pintu kapel, mencium kuncinya, dan berkata kepda Yesus, “Yesus-ku, aku sedang bermain, tetapi aku tidak melupakan-Mu. Berkatilah aku dan teman-temanku. Sampai bertemu nanti.” Betapa suatu devosi yang bersahaja!

Francisco, seorang dari ketiga kanak-kanak gembala dari Fatima, agak sedikit kontemplatif, dan ia memiliki kecintaan besar dalam mengunjungi Sakramen Mahakudus. Ia ingin pergi sesering mungkin dan tinggal dalam gereja selama mungkin agar dapat dekat tabernakel, dekat dengan “Yesus yang tersembunyi,” sebagaimana ia menyebut Ekaristi dalam bahasanya yang kekanak-kanakan namun mendalam. Ketika penyakit membelenggunya di atas tempat tidur, ia mengungkapkan kepada sepupunya - Lusia - bahwa sakitnya yang terhebat adalah tak dapat pergi mengunjungi “Yesus yang tersembunyi” untuk membawa bagi-Nya segala kecupan dan kasihnya. Di sini, seorang kanak-kanak kecil mengajari kita bagaimana mengasihi!

Kita dapat menambahkan bahwa St Fransiskus Borgia biasa melakukan sekurang-kurangnya tujuh kunjungan kepada Sakramen Mahakudus setiap hari. St Maria Magdalene de Pazzi melakukan tigapuluh tiga kunjungan dalam sehari pada suatu masa hidupnya. Beata Maria Fortunata Viti, seorang biarawati Benediktin yang bersahaja di jaman kita, biasa melakukan hal yang sama. Beata Agatha dari Salib, seorang anggota ordo ketiga Dominikan, melakukan seratus kunjungan dalam sehari, dari tempat tinggalnya hingga ke sebuah gereja. Akhirnya, apakah yang akan kita katakan mengenai Alexandria da Costa yang, sementara tergolek sakit di tempat tidurnya selama bertahun-tahun, terus-menerus terbang dalam hatinya untuk mengunjungi semua “Tabernakel Kudus” di dunia?

Mungkin teladan-teladan ini mencengangkan kita dan mungkin tampak luar biasa bagi kita, bahkan di kalangan para kudus. Tetapi, bukan demikian. Kunjungan kepada Sakramen Mahakudus adalah tindakan iman dan kasih. Barangsiapa mempunyai terlebih banyak iman dan kasih, merasakan terlebih kuat kebutuhan untuk bersama Yesus. Dan dengan apakah para kudus mengamalkannya jika bukan dengan iman dan kasih?

Suatu hari seorang katekis yang cerdik mengatakan kepada para muridnya, “Andai seorang malaikat datang dari surga dan mengatakan kepadamu, `Yesus Sendiri ada di rumah ini dan itu dan Ia menantikanmu,' tidakkah seketika itu juga engkau akan meninggalkan segala sesuatu dan bergegas datang kepada-Nya? Engkau akan menghentikan segala kesenangan atau apapun yang sedang engkau lakukan; engkau akan menganggap dirimu beruntung dapat sedikit berkurban untuk pergi dan bersama Yesus. Sekarang yakinlah, dan janganlah lupa, bahwa Yesus ada dalam tabernakel, dan Ia senantiasa menantikanmu, sebab Ia rindu engkau ada di dekat-Nya dan ingin memperkayamu dengan rahmat-Nya yang berlimpah.”

Berapa besar, berapa tinggi, para kudus menilai kehadiran fisik Yesus Sendiri dalam tabernakel dan kerinduan Yesus agar kita berada di dekat-Nya? Begitu besar, begitu tinggi, hingga menggerakkan St Fransiskus de Sales mengatakan, “Kita harus mengunjungi Yesus dalam Sakramen Mahakudus seratus ribu kali sehari.”

Marilah belajar dari para kudus mencintai kunjungan-kunjungan kepada Yesus dalam Ekaristi. Marilah kita melakukan kunjungan-kunjungan ini. Marilah kita tinggal berlama-lama dengan-Nya, berbincang-bincang dengan-Nya dengan akrab mesra mengenai apa yang ada dalam hati kita. Ia akan memandang kita penuh kasih dan menarik kita kepada Hati-Nya. “Apabila kita berbicara kepada Yesus dengan kesahajaan dan dengan segenap hati kita,” kata Imam kudus dari Ars, “Ia bertindak bagai seorang ibunda yang merengkuh kepala anaknya dengan kedua tangannya serta melimpahinya dengan kecupan dan belaian.”

Jika kita tidak tahu bagaimana melakukan kunjungan ke tabernakel yang meliputi pembicaraan dari hati-ke-hati dengan Yesus, baiklah kita mendapatkan booklet indah tiada duanya tulisan St Alfonsus berjudul Kunjungan kepada Sakramen Mahakudus dan kepada Santa Perawan Maria. Sesuatu yang tak terlupakan adalah cara Padre Pio dari Pietrelcina, setiap sore, biasa membaca dengan suara yang menyayat hati satu dari Kunjungan-kunjungan St Alfonsus sepanjang Pentahtaan Sakramen Mahakudus tepat sebelum Pujian kepada Sakramen Mahakudus.

Marilah kita mulai dan setia melakukan sekurang-kurangnya satu kunjungan dalam sehari kepada Tuhan yang menanti kita penuh kasih. Kemudian, marilah kita berupaya meningkatkan kunjungan-kunjungan ini seturut kemampuan kita. Dan, jika kita tidak mempunyai cukup waktu untuk melakukan kunjungan yang lama, marilah kita melakukan “stop-ins,” yaitu, marilah kita masuk ke dalam gereja setiap kali mungkin dan berlutut sejenak di hadapan Sakramen Mahakudus, dan dengan penuh kasih mengatakan, “Yesus, Engkau di sini. Aku menyembah-Mu. Aku mengasihi-Mu. Masuklah ke dalam hatiku.” Ini sesuatu yang singkat dan sederhana, tetapi, oh betapa bermanfaat! Marilah kita senantiasa ingat akan kata-kata penghiburan St Alfonsus ini, “Yakinlah bahwa dari segenap masa hidupmu, waktu yang engkau lewatkan di hadapan Sakramen Ilahi akan menjadi saat yang memberimu lebih banyak kekuatan dalam hidup, yang paling menghibur di saat ajalmu dan sepanjang kekekalan masa.”

Adorasi kepada Yesus

Ketika ada cinta sejati, dan cinta itu memuncak hingga ke suatu point tertentu, maka ada adorasi. Cinta yang besar dan adorasi adalah dua hal yang berbeda; tetapi, keduanya membentuk satu kesatuan. Keduanya menjadi cinta adorasi dan adorasi cinta.

Adorasi kepada Yesus dalam tabernakel dilakukan hanya oleh mereka yang sungguh mencintai-Nya, dan Ia dicintai dengan cara yang paling luhur oleh barangsiapa yang beradorasi kepada-Nya.

Para kudus, yang jauh lebih unggul dalam praktek mencintai, adalah adorator-adorator yang setia dan berkobar-kobar kepada Yesus dalam Sakramen Mahakudus. Penting dicatat, adorasi Ekaristik senantiasa dianggap sebagai persamaan terdekat yang kita miliki dengan adorasi abadi yang akan menjadi seluruh firdaus kita. Perbedaannya terletak hanya pada selubung yang menyembunyikan pandangan akan Realita ilahi yang tentangnya iman memberikan kepada kita keyakinan yang tak tergoyahkan.

Adorasi Sakramen Mahakudus merupakan devosi yang berkobar-kobar dari para kudus. Adorasi mereka berlangsung berjam-jam lamanya, terkadang bahkan sepanjang hari atau malam. Di sana, “dekat kaki Tuhan Yesus” seperti Maria dari Betania (Lukas 10:39), menemani-Nya dengan akrab mesra, tenggelam dalam kontemplasi tentang-Nya, berserah hati dalam suatu persembahan adorasi cinta yang murni dan harum. Dengarkanlah apa yang dituliskan Charles de Foucauld di hadapan tabernakel, “Betapa sukacita yang dahsyat, ya Tuhan-ku! Melewatkan limabelas jam lamanya tanpa melakukan sesuatu apapun selain dari memandang-Mu dan mengatakan kepada-Mu, `Tuhan, aku mencintai-Mu!' Oh, betapa sukacita yang manis!”

Segenap para kudus adalah para adorator yang berkobar-kobar kepada Ekaristi Mahakudus, dari para Pujangga agung Gereja seperti St Thomas Aquinas dan St Bonaventura, hingga para Paus seperti St Pius V dan St Pius X, para imam seperti imam kudus dari Ars dan St Petrus Yulianus Eymard, hingga jiwa-jiwa yang bersahaja seperti St Rita, St Paskalis Baylon, St Bernadette Soubirous, St Gerardus, St Dominikus Savio dan St Gemma Galgani. Para pilihan ini, yang cintanya sejati, tiada menghitung-hitung jam adorasi khusuk yang mereka lewatkan siang malam di hadapan Yesus dalam tabernakel.

Renungkanlah bagaimana St Fransiskus dari Assisi menghabiskan begitu banyak waktu, kerap kali sepanjang malam, di depan altar, dan tinggal di sana dengan segala khusukan dan kerendahan hati hingga mengharukan siapa saja yang behenti untuk melihatnya. Renungkanlah bagaimana St Benediktus Labre, yang disebut “Si miskin dari Empatpuluh Jam”, melewatkan hari-harinya di gereja-gereja di mana Sakramen Mahakudus dengan khidmad ditahtakan. Selama bertahun-tahun santo kita ini terlihat di Roma mengadakan ziarah dari satu gereja ke gereja lain di mana diadakan Empatpuluh Jam devosi, dan tinggal di sana di hadapan Yesus, selalu berlutut tenggelam dalam doa adorasi, tiada bergerak selama delapan jam, bahkan ketika teman-temannya, serangga-serangga, merambati dan menyengat sekujur tubuhnya.

Ketika orang hendak menggambarkan St Aloysius Gonzaga, terjadilah suatu diskusi mengenai gambaran apa yang hendak diberikan mengenai orang kudus ini. Akhirnya, dicapai kesepakatan untuk menggambarkan santo kita ini dalam adorasi di hadapan altar, sebab adorasi Ekaristik adalah ciri khasnya dan yang paling menonjol dari kekudusannya.

Rasul dari Hati Yesus yang Mahakudus, St Margareta Maria Alacoque, pada suatu hari Kamis Putih, melewatkan empatbelas jam tanpa jeda dengan prostratio dalam adorasi. St Fransiska Xavier Cabrini, pada suatu pesta Hati Yesus yang Mahakudus, tinggal terus-menerus dalam adorasi selama duabelas jam. Ia begitu tenggelam dan mencurahkan segenap perhatiannya kepada Tuhan kita dalam Ekaristi hingga ketika seorang suster menanyakan kepadanya apakah ia menyukai rangkaian bunga dan taplak yang menghiasi altar, Fransiska menjawab, “Aku tidak melihatnya. Aku hanya melihat satu Bunga, Yesus, tidak yang lain.

Usai mengunjungi Katedral Milan, St Fransiskus de Sales mendengar seseorang bertanya kepadanya, “Yang Mulia, adakah anda melihat betapa berlimpah batu pualamnya, dan betapa megah bentuknya?” Uskup yang kudus itu menjawab, “Apakah yang engkau ingin aku katakan kepadamu? Kehadiran Yesus dalam tabernakel telah menyita rohku begitu rupa, hingga segala keindahan arsitektur lolos dari perhatianku.” Betapa pelajaran berharga terkandung dalam jawaban ini bagi kita yang tanpa pikir panjang pergi mengunjungi gereja-gereja terkenal seolah gereja adalah museum!

Permenungan Maksimal

Sebagai contoh akan semangat permenungan sepanjang adorasi Ekaristik, Beato Contardo Ferrini, professor di Universitas Modena, mempunyai pengalaman yang mengejutkan. Suatu hari, sesudah memasuki suatu gereja untuk mengunjungi Tuhan kita, ia menjadi begitu tenggelam dalam adorasi, dengan kedua mata tertuju pada tabernakel, hingga ia tidak tahu ketika seseorang merampas mantol yang tergantung pada kedua pundaknya!

“Bahkan kilat yang menggelegar pun tak dapat mengalihkan perhatiannya,” demikian dikatakan mengenai St Maria Magdalena Postel, sebab ia tampak begitu khusuk dan tenggelam kala beradorasi kepada Sakramen Mahakudus. Sebaliknya, suatu ketika, pada waktu adorasi, St Katarina dari Siena tanpa sengaja mengarahkan matanya untuk melihat seorang yang sedang lewat. Karena distraksi sekejap ini, santa kita teramat sedih hingga ia menangis beberapa saat lamanya, seraya berseru, “Aku seorang pendosa! Aku seorang pendosa!”

Bagaimanakah kita tidak tahu malu akan sikap kita di gereja? Bahkan di hadapan Tuhan kita yang dengan khidmad ditahtakan kita dengan mudah menengok ke kanan dan ke kiri, bergerak-gerak dan pikiran kita cepat teralihkan oleh suatu hal yang remeh, tanpa - dan inilah yang menyedihkan - tanpa merasa menyesal. Ah! Cinta para kudus yang begitu halus dan peka! St Theresia mengajarkan bahwa “di hadapan Yesus dalam Sakramen Mahakudus kita sepatutnya seperti para kudus di surga di hadapan Hadirat Allah.” Demikianlah cara para kudus bersikap di gereja. Imam kudus dari Ars biasa beradorasi kepada Yesus dalam Sakramen Mahakudus dengan semangat dan permenungan begitu rupa hingga orang merasa yakin bahwa ia melihat Yesus secara pribadi dengan mata kepalanya sendiri. Hal yang sama dikatakan orang mengenai St Vincentius de Paul, “Ia melihat Yesus di dalam sana (tabernakel).” Sama pula yang dikatakan mengenai St Petrus Yulianus Eymard, rasul adorasi Ekaristik yang tiada bandingnya. Padre Pio dari Pietrelcina, dalam usaha untuk meneladani St Eymard, menggabungkan diri dalam serikat imam-adorator yang dibentuk St Eymard dan selama empatpuluh tahun menempatkan sebuah gambar kecil St Eymard di atas mejanya.

Bahkan Sesudah Mati

Pantas dicatat bahwa Tuhan menganugerahkan pada para kudus tertentu sesuatu yang luar biasa dengan memungkinkan mereka memperlihatkan, sesudah kematian mereka, tindakan adorasi kepada Sakramen Mahakudus. Demikianlah, ketika St Katarina dari Bologna ditempatkan di depan altar Sakramen Mahakudus beberapa hari sesudah kematiannya, tubuhnya bangkit ke posisi doa adorasi. Pada waktu Misa Pemakaman St Paskalis Baylon, mata santo kita ini terbuka dua kali - pada saat Hosti diunjukkan dan pada saat Piala diunjukkan - guna mengekspresikan adorasinya kepada Ekaristi. Ketika tubuh Beato Matius dari Girgenti disemayamkan dalam gereja untuk Misa Pemakaman, kedua tangannya terjalin dalam adorasi kepada Ekaristi. Di Ravello, sementara tubuh Beato Bonaventura dari Potenza dibawa melewati altar Sakramen Mahakudus, tubuh itu menundukkan kepala penuh hormat kepada Yesus dalam tabernakel.

Sungguh benar bahwa “cinta lebih kuat daripada maut” (bdk Kidung Agung 8:6). Dan bahwa “Barangsiapa makan roti ini, ia akan hidup selama-lamanya” (Yohanes 6:58). Ekaristi adalah Yesus Cinta kita. Ekaristi adalah Yesus Hidup kita. Adorasi Sakramen Mahakudus adalah cinta surgawi yang menyemarakkan kita dan mempersatukan kita dengan Yesus Kurban, yang “hidup senantiasa untuk menjadi Pengantara” (Ibrani 7:25) bagi kita. Patut kita camkan bahwa dia yang beradorasi, mempersatukan dirinya dengan Yesus dalam Hosti sementara Yesus menjadi pengantara kepada Bapa demi keselamatan saudara-saudara-Nya. Belas kasih paling luhur terhadap segenap manusia adalah memperolehkan kerajaan surga bagi mereka. Hanya di Firdaus kita akan mengetahui betapa banyak jiwa-jiwa telah dibebaskan dari gerbang neraka melalui adorasi Ekaristik yang dihaturkan sebagai silih oleh orang-orang kudus baik yang dikenal maupun yang tidak dikenal. Janganlah kita lupa bahwa di Fatima malaikat secara pribadi mengajarkan kepada ketiga anak gembala doa silih Ekaristik yang indah, yang patut kita pelajari, “Ya Tritunggal Mahakudus, Bapa, Putra dan Roh Kudus, aku sujud menyembah-Mu; aku persembahkan kepada-Mu Tubuh, Darah, Jiwa dan ke-Allah-an mahaberharga Yesus Kristus, yang hadir di segenap tabernakel di seluruh dunia, sebagai silih atas kekejian, sakrilegi dan keacuhan dengan mana Ia dihinakan. Dan melalui jasa-jasa tak terhingga Hati Yesus yang Mahakudus dan Hati Maria yang Tak Bernoda, aku mohon kepada-Mu pertobatan para pendosa yang malang.” Adorasi Ekaristik adalah suatu ekstasi [= sukacita hebat] cinta dan praktek salvific [= keselamatan] yang terampuh dalam kerasulan penyelamatan jiwa-jiwa.

Untuk alasan ini St Maximilian M. Kolbe, seorang rasul besar Maria, dalam setiap pembangunan, bahkan sebelum mempersiapkan bilik-bilik bagi para biarawan, menghendaki didirikan kapel guna segera memperkenalkan adorasi abadi Sakramen Mahakudus yang ditahtakan. Suatu ketika, kala sedang menghantar seorang tamu melihat-lihat “Kota Santa Perawan yang Tak Berdosa” di Polandia dan mereka telah memasuki “Kapel Adorasi” yang besar, dengan gerakan menunjuk kepada Sakramen Mahakudus St Maximilian mengatakan kepada tamunya, “Seluruh hidup kami tergantung pada ini.”

Bagian yang Terbaik

Biarawan dari Gargano dengan stigmata di tubuhnya, kepada siapa orang banyak datang dari segala belahan dunia, Padre Pio dari Pietrelcina, setelah tugas harian yang panjang dalam kamar pengakuan, biasa melewatkan nyaris sepanjang sisa hari dan malam itu di hadapan tabernakel dalam adorasi, bersama dengan Madonna sementara ia mendaraskan beratus-ratus Rosario. Suatu ketika Uskup dari Manfredonia, Msgr Cesarano, memilih biara Padre Pio untuk suatu retret selama delapan hari. Setiap malam uskup bangun di waktu yang tidak tertentu untuk pergi ke kapel, dan setiap malam di setiap kunjungannya, ia selalu mendapati Padre Pio dalam adorasi. Rasul besar dari Gargano sedang melakukan karyanya, tanpa terlihat, di segenap penjuru dunia - kadang kala ia kelihatan, dalam kesempatan-kesempatan bilokasi - sementara ia tinggal di sana prostratio di hadapan Yesus, dengan Rosario di tangannya. Ia biasa mengatakan kepada anak-anak rohaninya, “Apabila kalian ingin bertemu denganku, datanglah dekat tabernakel.”

Don James Alberione, seorang rasul besar lainnya di jaman kita, sebagai dasar bagi seluruh proyek besarnya, Kerasulan Pers - “Societa Apostolata Stampa” - secara khusus menyediakan adorasi Ekaristi Mahakudus bagi Suster-suster dalam Kongregasi Murid-murid Saleh dari Guru Ilahi, yang didirikannya dengan panggilan unik dan spesifik untuk beradorasi secara khusuk kepada Tuhan kita yang ditahtakan dalam Ekaristi Mahakudus siang dan malam.

Adorasi Ekaristik adalah sungguh “bagian yang terbaik” yang dikatakan Yesus ketika menegur Marta yang menyibukkan diri dengan “banyak perkara” yang kurang perlu, sementara mengabaikan “satu saja yang perlu” yang dipilih oleh Maria, yang adalah adorasi bersahaja dan penuh cinta (Lukas 10:41-42).

Jadi, bagaimanakah cinta dan semangat yang harus kita miliki untuk adorasi Ekaristik? Jika oleh Yesus “segala sesuatu ada” (Kolose 1:17), maka, pergilah kepada-Nya, tinggal bersama-Nya, persatukan diri kita dengan-Nya, artinya menemukan, mendapatkan, memiliki Dia yang oleh-Nya kita dan seluruh alam raya ada. “Yesus sajalah segalanya; yang lainnya bukan apa-apa,” kata St Theresia dari Lisieux. Jadi, menyangkal yang bukan apa-apa demi Segalanya, menghabiskan segenap daya kemampuan dan diri kita demi Dia yang adalah Segalanya, daripada demi yang bukan apa-apa - bukankah ini sungguh kekayaan sejati dan kebijaksanaan terluhur kita? Jelas inilah pemikiran Padre Pio dari Pietrelcina ketika ia menulis, “Seribu tahun menikmati kemuliaan manusia tidak sepadan dengan bahkan satu jam yang dilewatkan dalam persatuan yang manis dengan Yesus dalam Sakramen Mahakudus.”

Betapa alasan yang tepat kita iri pada para malaikat, seperti yang dilakukan para kudus, sebab para malaikat terus-menerus tiada henti tinggal tetap sekeliling tabernakel!

Mencintai Rumah Yesus

Kehadiran nyata Tuhan Ilahi kita dalam tabernakel-tabernakel kita telah senantiasa merupakan sesuatu yang amat dihormati dan dicintai oleh para kudus. Cinta kasih mereka begitu bersahaja dan murni, sebab “perkara Tuhan” (1 Korintus 7:32) telah menjadi salah satu indikasi paling nyata akan cinta kasih mereka yang besar, yang tidak menahan sedikitpun, yang menganggap segalanya teramat penting, bahkan hal paling sederhana dari ibadat-ibadat yang telah ditetapkan, yang untuknya St Theresia dan St Alfonsus memaklumkan diri siap untuk mengurbankan nyawa.

Kekudusan dan Kepantasan

Dan dari para kuduslah kita patut belajar untuk mencintai Yesus, memenuhi tabernakel-tabernakel, altar-altar dan gereja-gereja kudus, Rumah-Nya (Markus 11:17) dengan cinta kasih mesra. Semuanya wajib mengekspresikan kepantasan, semuanya wajib mengilhami devosi dan adorasi, bahkan dalam hal-hal kecil, bahkan secara detail. Tiada suatupun akan pernah terlalu berlebihan jika menyangkut mencintai dan menghormati “Raja Kemuliaan” (Mazmur 24:10). Orang dapat merenungkan beberapa praktek kuno, misalnya, yang menghendaki bahkan air parfum dipergunakan untuk mencuci jari-jemari imam dalam Misa Kudus.

Lagi pula, Yesus memilih untuk menetapkan Sakramen Cinta Kasih dalam suatu tempat yang terhormat dan indah, yakni, Senakel, yang adalah sebuah ruangan makan yang besar, dengan perabot dan karpet (Lukas 22:12). Para kudus senantisa menunjukkan semangat yang sepenuh hati dan budi dalam menjunjung tinggi keindahan dan kerapian rumah Tuhan.

Sebagai contoh, dalam perjalanan-perjalanan apostoliknya, St Fransiskus dari Assisi biasa membawa, atau mendapatkan, sebuah sapu untuk menyapu gereja-gereja yang ia dapati kotor. Setelah berkhotbah kepada orang banyak, ia biasa berbicara kepada para klerus di kota itu dan dengan sangat mendorong mereka agar peduli pada kepantasan rumah Tuhan. Ia meminta St Klara dan Suster-suster Klaris mempersiapkan kain-kain lenan yang sakral untuk altar. Kendati kemiskinannya, ia biasa mendapatkan dan mengirimkan sibori-sibori, piala-piala dan kain-kain altar kepada gereja-gereja yang miskin dan terabaikan.

Kita mengetahui dari riwayat St Yohanes Baptis de la Salle bahwa ia ingin melihat kapel senantiasa dalam keadaan bersih dan lengkap, dengan altar tepat pada tempatnya dan lampu Tuhan senantiasa menyala. Jubah-jubah yang robek dan bejana-bejana yang bernoda baginya adalah pemandangan yang menyayat hati. Ia tidak memikirkan biaya yang terlalu banyak apabila menyangkut sembah sujud yang pantas kepada Tuhan.

St Paulus dari Salib menghendaki agar perlengkapan altar tanpa noda. Suatu hari ia mengirimkan kembali dua korporal, satu sesudah yang lain, sebab ia menilainya tidak cukup bersih.

Yang menonjol dari antara para raja yang mencintai Ekaristi adalah St Wenseslaus, Raja Bohemia. Dengan tangannya sendiri ia bercocok tanam, menabur gandum, menuainya, menampinya dan mengangkutnya. Kemudian, dengan tepung yang termurni ia membuat hosti-hosti untuk Kurban Kudus. Dan St Radegunde, Ratu Perancis, setelah menjadi seorang religius yang bersahaja, ia bersukacita dapat menggiling dengan tangan-tangannya sendiri gandum-gandum pilihan untuk hosti bagi Misa Kudus, dan ia biasa memberikannya secara cuma-cuma kepada gereja-gereja miskin. Yang patut juga dicatat adalah St Vincentia Gerosa, yang merawat pohon-pohon anggur yang menghasilkan anggur untuk Misa Kudus. Ia menanam dan memangkasnya dengan tangan-tangannya sendiri; ia bersukacita dalam pemikiran bahwa tandan-tandan anggur ini yang ia pelihara akan menjadi Darah Yesus.

Apakah yang akan kita katakan mengenai kepekaan batin yang dimiliki para kudus mengenai Sakramen Mahakudus?

Mereka memiliki iman yang tak dapat ditawar akan Kehadiran Nyata Tuhan kita bahkan dalam serpihan Hosti yang terkecil yang dapat dilihat. Mengenai hal ini, cukuplah kita melihat bagaimana Padre Pio dengan kecermatan yang seksama membersihkan patena dan bejana-bejana suci sementara ia berada di altar. Kita dapat membaca adorasi di wajahnya!

Suatu ketika, kala St Theresia dari Lisieux melihat ada serpihan kecil Hosti di patena sesudah Misa Kudus, ia memanggil para novis, dan lalu membawa patena ke dalam sakristi dengan suatu perarakan yang khidmad, dengan sikap adorasi yang sungguh bagai malaikat. Ketika St Teresa Margareta mendapati sebuah serpihan Hosti di lantai dekat altar, ia mencucurkan airmata sebab pemikiran akan sikap tidak hormat yang disampaikan kepada Yesus; dan ia berlutut dalam adorasi di hadapan Serpihan Hosti itu hingga seorang imam datang mengambil-Nya dan menempatkan-Nya dalam tabernakel.

Sekali peristiwa, kala St Karolus Borromeo sedang membagikan Komuni Kudus, secara tak sengaja ia menjatuhkan sebuah Hosti Kudus dari tangannya. Santo kita merasa diri bersalah melakukan dosa berat tidak hormat kepada Yesus, dan ia begitu berduka hingga selama empat hari ia tak memiliki keberanian untuk merayakan Misa Kudus; dan sebagai penitensi ia membebankan puasa selama delapan hari atas dirinya sendiri!

Apakah yang akan kita katakan mengenai St Fransiskus Xaverius yang terkadang, sementara membagikan Komuni Kudus merasa begitu hanyut dalam perasaan adorasi kepada Tuhan kita yang ada dalam tangannya, hingga ia jatuh berlutut dan dalam posisi demikian melanjutkan membagikan Komuni Kudus? Tidakkah ini memberikan kesaksian akan iman dan kasih yang pantas beroleh ganjaran surga?

Sesuatu lainnya yang bahkan terlebih indah telah menjadi pemikiran khidmad para kudus yang adalah imam, dalam menangani Sakramen Mahakudus. Oh, betapa mereka rindu memiliki tangan-tangan perawan yang sama seperti yang dimiliki Madonna yang Tak Bernoda! Sesuatu yang patut dicatat mengenai St Conrad dari Costanza adalah bahwa jari-jari telunjuk dan ibu jarinya biasa bersinar di malam hari karena iman dan kasih dengan mana ia mempergunakan jari-jemari itu sementara memegang Tubuh Yesus yang Mahakudus. St. Yosef dari Cupertino, seorang santo kudus yang terkenal karena ekstasi dan levitasi, mengekspresikan keluhuran sikap devosinya ketika ia menyatakan kerinduan untuk memiliki sepasang jari telunjuk dan ibu jari yang lain agar dapat dipergunakan hanya untuk memegang Tubuh Yesus yang Mahakudus. Padre Pio dari Pietrelcina biasa mengambil Hosti Kudus dengan jari-jemarinya dengan susah payah yang kelihatan jelas, menganggap diri tak layak membiarkan tangannya, yang ditandai stigmata, menyentuh Hosti. (Apakah yang hendak kita katakan mengenai kecerobohan yang menyakitkan dengan mana usaha-usaha dilakukan guna memperkenalkan di mana-mana Komuni di tangan dan bukannya di lidah? Dibandingkan dengan para kudus - yang begitu rendah hati, begitu bagai malaikat - tidakkah orang-orang ini mudah memberikan gambaran akan berandalan-berandalan yang pongah?)

Kesopanan Perempuan

Kepedulian besar lainnya dari para kudus akan kepantasan gereja dan keselamatan jiwa-jiwa, adalah perlunya kesopanan dan kepantasan perempuan. Desakan tegas mengenai point khusus ini terus-menerus diserukan oleh para kudus, dari Rasul St Paulus (yang mengatakan perempuan perlu menudungi kepalanya agar kepalanya tidak “sama dengan perempuan yang dicukur rambutnya” (1 Korintus 11:5-6)), ke St Yohanes Krisostomus, St Ambrosius, dsb., hingga ke Padre Pio dari Pietrelcina, yang tidak mengenal ukuran tanggung, melainkan senantiasa menekankan busana yang sopan di bawah lutut. Dan bagaimanakah dapat berlaku sebaliknya? Santo Leopold da Castelnuovo biasa mengusir keluar dari gereja para perempuan yang berbusana tidak sopan; ia menyebut mereka sebagai carne da mercato (“daging untuk dijual”). Apakah yang akan ia katakan sekarang ini, ketika begitu banyak perempuan mengabaikan kesopanan dan kepantasan bahkan dalam gereja? Mereka bertindak tidak pantas, bahkan di tempat-tempat sakral, membangkitkan gairah nafsu laki-laki, yang mengenainya Roh Kudus telah memperingatkan kita. Namun demikian, keadilan Tuhan tidak akan membiarkan kegilaan dan kebejatan yang begitu rupa berlalu tanpa hukuman. St Paulus mengatakan, “semuanya itu mendatangkan murka Allah” (Kolose 3:6). Yang dimaksudkannya adalah dosa-dosa daging.

Pula para kudus telah senantiasa menyampaikan kepada kita, dengan teladan maupun perkataan, untuk mengikuti praktek indah sementara orang memasuki sebuah gereja, membuat tanda salib secara khidmad dengan air suci, berlutut dengan hormat, dan di atas segalanya beradorasi kepada Yesus dalam Sakramen Mahakudus bersama para malaikat dan para kudus yang berjaga sekeliling altar. Jika kita berhenti untuk berdoa, kita perlu bermenung dengan khidmad agar kita tetap bersikap saleh dan penuh perhatian.

Adalah juga baik berada sedekat mungkin (dengan melihat batas-batas yang pantas) dengan altar Sakramen Mahakudus. Beato Yohanes Duns Scotus mengungkapkan bahwa pengaruh fisik Kemanusian Yesus yang Mahakudus semakin kuat, semakin dekat seorang pada Tubuh dan Darah-Nya. St Gemma Galgani mengatakan bahwa terkadang ia tak dapat datang terlebih dekat pada altar Sakramen Mahakudus sebab api kasih yang hebat berkobar-kobar dalam hatinya hingga seakan membakar busana yang menutup dadanya!

Siapa saja yang melihat St Fransiskus de Sales memasuki gereja, memberkati diri, berlutut dan berdoa di depan tabernakel, akan percaya pada apa yang dikatakan orang banyak bahwa “demikianlah cara para malaikat dan para kudus melakukannya di surga.”

Suatu ketika seorang pangeran di istananya di Skotlandia mengatakan kepada seorang teman, “Jika engkau ingin melihat bagaimana para malaikat di surga berdoa, pergilah ke gereja dan lihatlah bagaimana Ratu Margareta berdoa bersama anak-anaknya di depan altar.” Segenap mereka yang serampangan dan mudah teralihkan pikirannya hendaknya memikirkan dengan serius kata-kata Beato Louis Guanella ini, “Janganlah pernah kita menjadikan gereja suatu aula, atau balai atau jalan raya, atau alun-alun.” Dan St Vincentius de Paul dengan sedih mendorong umat agar di hadapan Sakramen Mahakudus mereka hendaknya tidak membuat gerakan berlutut yang menyerupai gerakan boneka marionette [boneka yang digerakkan dengan tali-tali].

Kiranya teladan dan pengajaran dari para kudus ini tidaklah sia-sia bagi kita.

Dalam Kitab Suci kita dapati suatu kisah singkat yang menceritakan suatu tindakan kasih yang menyolok. Itulah tindakan yang dilakukan St Maria Magdalena di sebuah rumah di Betania: “Datanglah seorang perempuan kepada-Nya membawa sebuah buli-buli pualam berisi minyak wangi yang mahal. Minyak itu dicurahkannya ke atas kepala Yesus” (Matius 26:7). Memperindah dan mempercantik tabernakel-tabernakel kudus kita adalah tugas yang senantiasa kita percayakan kepada makhluk ciptaan yang indah dan harum yang kita sebut bunga. Para kudus tiada duanya dalam mempergunakan bunga. Ketika Uskup Agung Turin suatu hari memilih untuk singgah mengunjungi Gereja Rumah Kecil Penyelenggaraan Ilahi, ia mendapati gereja dalam keadaan indah menawan, dengan altar yang dihias cantik dan bunga-bungaan nan harum mewangi, hingga ia bertanya kepada St Yosef Cottolengo, “Pesta apakah yang engkau rayakan pada hari ini?” Santo kita menjawab, “Kami tidak merayakan pesta apapun pada hari ini; tetapi di sini dalam gereja setiap hari adalah pesta.”

St Fransiskus dari Hieronimus mempunyai tugas memelihara bunga-bungaan yang diperuntukkan bagi altar Sakramen Mahakudus, dan terkadang ia membuat mereka tumbuh secara ajaib agar Yesus tidak akan dibiarkan tanpa bunga.

“Sekuntum bunga bagi Yesus” - betapa suatu kebiasaan yang terpuji! Janganlah kita melupakan tindakan kasih bagi Yesus ini. Mungkin akan ada sedikit pengeluaran ekstra setiap minggu, tetapi Yesus akan membalasnya “seratus kali lipat”, dan bunga-bunga kita di altar akan mengungkapkan, dengan keindahan dan keharuman mereka, kehadiran kasih kita dekat Yesus.

Lebih jauh mengenai hal ini, St Agustinus menceritakan suatu kebiasaan saleh pada jamannya. Sesudah Misa Kudus ada suatu kompetisi saleh di kalangan umat beriman untuk mendapatkan bunga-bungaan yang dipergunakan di altar. Mereka akan membawa bunga-bunga itu pulang dan menyimpannya sebagai relikwi, sebab bunga-bunga itu tadinya berada di altar dekat dengan Yesus dan ada di sana pada saat kurban ilahi-Nya. Juga, St Jane Frances de Chantal selalu rajin membawakan bunga-bunga segar bagi Yesus; dan begitu bunga-bunga dekat tabernakel mulai layu, ia membawa bunga-bunga itu ke dalam biliknya untuk ditempatkan di kaki salibnya. Ah, betapa suatu kesaksian cinta!

Marilah kita belajar dan mengikuti teladan para kudus.

Sumber:

“Jesus Our Eucharistic Love by Father Stefano Manelli, O.F.M. Conv., S.T.D.”
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya”