
“Ketika ikut ambil bagian dalam Misa, hadirlah di sana seolah di Kalvari. Sebab Misa adalah Kurban yang sama dan Yesus Kristus yang sama Yang melakukan bagi kalian apa yang Ia lakukan di salib bagi segenap umat manusia.” ~ St Yohanes Baptis de la Salle
Hanya di surga kita akan dapat memahami betapa Misa Kudus adalah suatu ketakjuban ilahi. Tak peduli betapa keras kita telah berupaya dan tak peduli betapa kudus dan terinspirasinya kita, kita tidak dapat tidak takjub akan karya ilahi ini yang melampaui manusia dan malaikat.
Suatu hari seorang berkata kepada Padre Pio dari Pietrelcina, “Pater, tolong jelaskan Misa Kudus kepada kami.” “Anak-anakku,” jawab Padre Pio, “bagaimanakah aku dapat menjelaskannya kepada kalian? Misa itu tak terbatas seperti Yesus … bertanyalah kepada malaikat apa itu Misa dan ia akan menjawab kalian dalam kebenaran, `Aku mengerti apa itu Misa dan mengapa Misa dipersembahkan, tetapi, aku tidak dapat memahami betapa dahsyat nilainya.' Satu malaikat, seribu malaikat, segenap surga, tahu akan hal ini dan berpikir seperti ini.”
St. Alfonsus de Liguori menegaskan, “Tuhan Sendiri tidak dapat mengadakan suatu tindakan yang lebih kudus dan lebih agung dari perayaan satu Misa Kudus.” Mengapa? Sebab Misa Kudus adalah, dapat kita katakan, suatu perpaduan, sebab Misa Kudus dapat dikatakan adalah gabungan dari Inkarnasi dan Penebusan, dan mencakup Kelahiran, Sengsara dan Wafat Yesus, misteri-misteri yang Tuhan genapi demi kepentingan kita. Konsili Vatican Kedua mengajarkan, “Pada perjamuan terakhir, pada malam Ia diserahkan, Penyelamat kita mengadakan kurban Ekaristi tubuh dan darah-Nya. Dengan demikian Ia mengabadikan kurban salib untuk selamanya” (Sacrosanctum Concilium, Konstitusi tentang Liturgi Suci, #47). St Thomas Aquinas, dalam suatu bagian yang mencerahkan pikiran, menulis, “Perayaan Misa Kudus sama nilainya dengan wafat Yesus di salib.”
Sebab itulah St Fransiskus dari Assisi mengatakan, “Hendaknya manusia gentar, dunia bergoncang, segenap surga gemetar ketika Putra Allah hadir di altar dalam tangan imam.”
Sungguh, sebab ia memperbaharui Kurban Sengsara dan Wafat Yesus, Misa Kudus, bahkan satu saja, cukup dahsyat untuk menahan keadilan ilahi. St Theresia dari Yesus mengatakan kepada para biarawatinya, “Tanpa Misa Kudus, apa jadinya kita? Semua di bawah sini akan binasa, sebab Misa Kudus saja yang dapat menahan lengan Allah.” Tanpa Misa Kudus Gereja pastilah tidak akan bertahan dan dunia akan sesat tanpa daya. “Akan lebih mudah dunia bertahan tanpa matahari daripada dunia tanpa Misa Kudus,” kata Padre Pio dari Pietrelcina. Ia mengikuti St Leonard dari Port Maurice yang mengatakan, “Aku percaya bahwa andai tidak ada Misa, dunia pastilah sekarang telah tenggelam ke dalam jurang di bawah beban kejahatannya. Misa adalah penopang dahsyat yang menahannya.”
Sungguh mengagumkan dampak penyelamatan yang dihasilkan setiap Kurban Misa terhadap jiwa-jiwa mereka yang ikut ambil bagian di dalamnya. Misa mendatangkan tobat dan pengampunan dosa; Misa mengurangi siksa dosa sementara; Misa memperlemah pengaruh setan dan hasrat tak terkendali daging kita; Misa memperkuat ikatan persatuan kita dalam Tubuh Kristus; Misa melindungi kita dari marabahaya dan malapetaka; Misa mempersingkat masa tinggal di purgatorium; Misa mendatangkan bagi kita tingkat kemuliaan yang lebih tinggi di surga. “Tak ada lidah manusia,” kata St Laurentius Yustinianus, “yang dapat menyebutkan satu per satu rahmat yang diperoleh dari Kurban Misa. Pendosa didamaikan kembali dengan Tuhan; orang benar menjadi lebih saleh; dosa-dosa dihapuskan; kejahatan-kejahatan disingkirkan; keutamaan dan ganjaran berkembang sementara rancangan-rancangan setan digagalkan.”
Dan juga St Leonardus dari Port Maurice tak kenal lelah mendesak orang banyak yang mendengarkannya, “Wahai kalian orang-orang yang teperdaya, apakah yang kalian lakukan? Mengapakah kalian tidak bergegas pergi ke gereja untuk mendengarkan sebanyak mungkin Misa? Mengapakah kalian tidak meneladani para malaikat yang, ketika suatu Misa Kudus dirayakan, turun dalam batalion-batalion dari surga dan mengambil tempat sekeliling altar kita dalam adorasi guna menjadi perantara bagi kita?”
Jika benar bahwa kita semua membutuhkan rahmat bagi hidup ini dan bagi hidup yang akan datang, tak ada suatupun yang dapat mendatangkan rahmat dari Tuhan lebih dari Misa Kudus. St Filipus Neri biasa mengatakan, “Dengan doa kita memohon rahmat dari Tuhan; dalam Misa Kudus kita mendesak Tuhan untuk memberikannya kepada kita.” Doa yang dipanjatkan dalam Misa Kudus melibatkan keseluruhan imamat kita, baik imamat jabatan imam di altar maupun imamat umum segenap umat beriman. Dalam Misa Kudus doa kita dipersatukan dengan doa sakrat maut Yesus sementara Ia mengurbankan DiriNya Sendiri bagi kita. Dalam suatu cara yang sama, dalam Doa Syukur Agung - yang adalah inti Misa - doa kita semua juga menjadi doa Yesus, yang hadir di antara kita. Dua kenangan dalam Doa Syukur Agung Romawi di mana dikenangkan mereka yang hidup dan yang mati, merupakan saat-saat berharga bagi kita untuk memanjatkan permohonan-permohonan kita. Juga, dalam saat-saat agung ketika Yesus dalam tangan imam mengalami Sengsara dan Wafat-Nya, kita dapat memohon bagi kepentingan-kepentingan kita sendiri dan kita dapat memohon bagi mereka, baik yang hidup maupun yang mati, yang kita kasihi. Marilah kita peduli untuk mendapatkan manfaat dari Misa Kudus. Para kudus menganggapnya sebagai amat penting, dan ketika mereka mempercayakan diri mereka pada doa-doa para imam, mereka meminta imam untuk mendoakan mereka, di atas segalanya, dalam Doa Syukur Agung.
Teristimewa di saat ajal kitalah Misa yang telah kita ikuti dengan saleh akan mendatangkan penghiburan dan pengharapan terbesar bagi kita, dan satu Misa yang kita ikuti dalam hidup kita akan jauh lebih bermanfaat daripada banyak Misa yang diikuti orang-orang lain atas nama kita setelah kematian kita.
Tuhan kita mengatakan kepada St Gertrude, “Engkau dapat yakin bahwa mengenai dia yang dengan saleh ikut ambil bagian dalam Misa Kudus, Aku akan mengirimkan kepadanya para kudus-Ku untuk menghiburnya dan melindunginya di saat-saat akhir hidupnya sebanyak Misa yang diikutinya dengan khusuk.”
Betapa menghiburkan hati! Imam Kudus dari Ars mempunyai alasan mengatakan, “Andai kita tahu nilai Kurban Kudus Misa, betapa terlebih keras daya upaya kita agar dapat ikut ambil bagian di dalamnya!” Dan St Petrus Yulianus Eymard mendesak, “Ketahuilah, umat Kristiani, bahwa Misa adalah tindakan terkudus dari agama. Kalian tak dapat melakukan suatu pun untuk lebih memuliakan Tuhan dan yang juga lebih bermanfaat bagi jiwa kalian selain dari ikut ambil bagian dalam Misa dengan saleh, dan ikut ambil bagian sesering mungkin.”
Karena itulah, kita wajib memikirkan manfaatnya bagi diri kita sendiri setiap kali kita berkesempatan untuk ikut ambil bagian dalam Misa Kudus; dan agar tidak kehilangan kesempatan, hendaknyalah kita tidak pernah menahan diri karena suatu alasan, teristimewa pada hari Minggu dan hari-hari raya.
Marilah kita mengenangkan St Maria Goretti yang pergi ke Misa hari Minggu dengan berjalan kaki, menempuh jarak sejauh 15 mil pulang pergi. Patutlah kita mengenangkan Santina Campana, yang pergi ke Misa meski ia sakit demam tinggi. Renungkanlah St Maximilianus Maria Kolbe, yang tetap mempersembahkan Misa Kudus ketika kesehatannya dalam kondisi yang begitu buruk hingga salah seorang saudara dalam komunitas religius harus menopangnya di altar agar ia jangan jatuh. Dan berapa banyak kali St Padre Pio dari Pietrelcina merayakan Misa Kudus sementara tubuhnya mencucurkan darah dan terserang demam!
Dalam hidup kita sendiri sehari-hari, sepatutnyalah kita menempatkan Misa Kudus di atas segala hal lain; sebab, seperti dikatakan St Bernardus, “Kita mendapatkan lebih banyak ganjaran dengan ikut ambil bagian dengan saleh dalam satu Misa Kudus daripada membagi-bagikan segala harta milik kepada para miskin papa dan berziarah ke segenap penjuru dunia.” Dan bukan sebaliknya, sebab tak ada suatu pun di dunia yang memiliki nilai tak terhingga satu Misa Kudus.
Kita sepatutnya lebih memilih Misa Kudus daripada kesenangan belaka yang membuang-buang waktu kita dan tidak mendatangkan manfaat bagi jiwa. St Louis IX, Raja Perancis, ikut ambil bagian dalam beberapa Misa setiap hari. Seorang menteri kerajaan mengeluh, mengatakan bahwa raja dapat mempergunakan waktu itu untuk mengurus masalah-masalah kerajaan. Raja yang kudus itu menjawab, “Andai aku menghabiskan waktu dua kali lebih banyak untuk bersenang-senang, seperti berburu, tak seorang pun akan berkeberatan.”
Marilah kita bermurah hati dan dengan suka hati melakukan kurban-kurban agar tidak kehilangan manfaat yang sedemikian besar. St Agustinus mengatakan, “Setiap langkah yang diambil orang sementara ia pergi untuk mengikuti Misa Kudus dihitung oleh malaikat; dan kemudian ia akan diganjari berlimpah oleh Tuhan dalam dunia ini dan dalam keabadian.” Imam dari Ars menambahkan, “Betapa bahagianya malaikat pelindung yang menemani suatu jiwa mengikuti Misa Kudus!”
Begitu seorang sadar akan nilai tak terhingga Misa Kudus, maka ia tak akan heran akan kerinduan dan antusiasme para kudus untuk ikut ambil bagian dalam Misa setiap hari, dan bahkan lebih sering jika memungkinkan.
St Agustinus meninggalkan bagi kita pujian kepada ibundanya, St Monika, “Ia tidak membiarkan satu hari pun berlalu tanpa ikut ambil bagian dalam Kurban Ilahi di hadapan altar-Mu, ya Tuhan.”
St Fransiskus dari Assisi biasa ikut ambil bagian dalam dua Misa setiap hari; dan apabila ia sakit, ia akan meminta seorang imam biarawan untuk merayakan Misa Kudus baginya dalam biliknya agar jangan sampai ia tanpa Misa Kudus.
Setiap pagi sesudah merayakan Misa Kudus, St Thomas Aquinas mempersembahkan satu Misa lain sebagai ucapan syukur.
Si bocah gembala, St Paskalis Baylon, tak dapat pergi ke gereja untuk ikut ambil bagian dalam semua Misa yang rindu dihadirinya sebab ia harus menggembalakan kawanan dombanya. Maka, setiap kali ia mendengar lonceng gereja berdentang memberitahukan bahwa Misa akan dirayakan, ia berlutut di rerumputan di antara domba-dombanya, di hadapan sebuah salib kayu yang ia buat, dan dengan cara ini ia, dari jauh, mengikuti imam sementara imam mempersembahkan Kurban ilahi. Betapa santo yang mengagumkan, seorang serafim sejati kasih kepada Ekaristi. Di atas pembaringan saat menjelang ajal, ia mendengar lonceng Misa berdentang dan ia mengerahkan tenaga untuk berbisik kepada saudara-saudaranya, “Aku bahagia mempersatukan kurban hidupku yang miskin dengan Kurban Yesus.” Dan ia wafat pada saat Konsekrasi dalam Misa Kudus.
St Margaret, Ratu Skotlandia dan ibunda dari delapan anak, pergi ke Misa setiap hari dengan membawa serta anak-anaknya, dan dengan kasih keibuan ia mengajar mereka untuk menghargai buku misa yang ia hiasi dengan batu-batuan berharga.
Marilah kita mengatur segala urusan kita dengan baik sehingga kita punya cukup waktu untuk ikut ambil bagian dalam Misa Kudus. Janganlah kita katakan bahwa kita terlalu sibuk dengan pekerjaan kita, sebab Yesus akan mengingatkan kita, “Marta, Marta, engkau kuatir dan menyusahkan diri dengan banyak perkara, tetapi hanya satu saja yang perlu” (Lukas 10:41-42).
Jika seorang sungguh rindu, pastilah ia menemukan waktu untuk pergi ke Misa tanpa melalaikan kewajibannya. St Yosef Cottolengo menganjurkan Misa harian bagi semua orang - bagi para guru, para perawat, para pekerja, para dokter, para orangtua - dan kepada mereka yang berkeberatan karena tidak punya cukup waktu, dengan tegas ia menjawab, “Manajemen yang buruk! Pengaturan waktu yang buruk!” Ia mengatakan kebenaran. Jika kita memang sungguh menghargai nilai tak terhingga Misa Kudus, pastilah kita dipenuhi kerinduan untuk ikut ambil bagian di dalamnya, dan akan mengusahakan berbagai cara untuk mendapatkan waktu yang dibutuhkan.
Ketika St Charles dari Sezze menjelajahi Roma untuk mencari dana bagi komunitasnya, ia akan menyisihkan waktu untuk mengunjungi gereja dan ikut ambil bagian dalam Misa. Pada saat Hosti dihunjukkan dalam salah satu Misa-Misa ini ia menerima anak panah cinta yang menembusi hatinya.
Setiap pagi, St Fransiskus dari Paula pergi ke gereja dan tinggal di sana untuk ikut ambil bagian dalam semua Misa harian yang dirayakan di sana. St Yohanes Berchmans, St Alfonsus Rodriguez dan St Gerardus Majella biasa melayani sebanyak mungkin Misa. (Mereka melakukannya dengan devosi dan kesalehan begitu rupa hingga mereka menarik banyak umat beriman ke gereja.)
Venerabilis Fransiskus dari Kanak-kanak Yesus, seorang Karmelit, melayani sepuluh Misa setiap hari. Jika sampai terjadi ia melayani kurang dari itu, ia akan berkata, “Hari ini aku tidak sarapan penuh.” Dan apakah yang dapat kita katakan mengenai St Padre Pio dari Pietrelcina? Padre Pio ikut ambil bagian dalam banyak Misa setiap hari, dan juga mendaraskan begitu banyak Doa Rosario! Imam Kudus dari Ars tidak salah ketika mengatakan, “Misa adalah devosi para kudus.”
Hal yang sama patut dikatakan mengenai cinta yang dimiliki para imam kudus dalam merayakan Misa. Bagi mereka merupakan suatu penderitaan yang ngeri apabila tidak dapat merayakan Misa. “Apabila kalian mendengar bahwa aku tak dapat merayakan Misa lagi, maka anggaplah aku sudah mati,” demikian dikatakan St Fransiskus Xaverius Bianchi kepada salah seorang saudara rohaniwan.
St Yohanes dari Salib menyatakan dengan jelas bahwa penderitaan terberat yang dialaminya selama ia dipenjarakan adalah tidak dapat merayakan Misa ataupun menyambut Komuni Kudus selama sembilan bulan berturut-turut.
Halangan dan rintangan tiada artinya bagi para kudus ketika mereka menghadapi masalah dengan pandangan untuk tidak kehilangan suatu yang begitu luar biasa baik. Sebagai misal, suatu hari di jalanan Naples, St Alfonsus Liguori menderita sakit perut yang hebat. Rohaniwan yang menemaninya mendesak St Alfonsus untuk berhenti dan minum obat penawar sakit. Tetapi, santo kita ini belum merayakan Misa, sebab itu ia segera menjawab, “Saudaraku terkasih, aku akan berjalan sepuluh mil dalam keadaan seperti ini demi tidak kehilangan kesempatan mempersembahkan Misa Kudus.” Dan penderitaannya tidak menggerakkannya untuk membatalkan puasa Ekaristi yang pada waktu itu wajib dimulai dari tengah malam. Ia menunggu hingga sakitnya sedikit reda dan lalu melanjutkan perjalanan ke gereja.
Seorang imam Kapusin, St Laurentius dari Brindisi, mendapati dirinya berada di sebuah kota bidaah. Sebab tidak ada gereja Katolik di kota itu, ia berjalan kaki sejauh empatpuluh mil untuk sampai di sebuah kapel yang dirawat umat Katolik di mana ia dapat merayakan Misa Kudus.
St Fransiskus de Sales suatu kali tinggal di sebuah kota Protestan; untuk dapat merayakan Misa Kudus ia harus pergi setiap pagi sebelum fajar ke sebuah gereja paroki Katolik yang berada di seberang sebuah sungai yang lebar. Ketika musim gugur tiba, air sungai meluap dan menghanyutkan jembatan kecil yang dipergunakan orang kudus kita untuk menyeberang. Namun, St Fransiskus tidak putus asa. Ia melemparkan sebuah balok besar di tempat di mana tadinya jembatan berada dan lalu menyeberangi sungai. Tetapi, pada musim dingin, karena es dan salju, ada bahaya serius orang tergelincir dan jatuh ke dalam sungai. Santo kita kemudian merancang suatu cara di mana ia menelungkupkan diri di atas balok dengan satu kaki dan satu tangan di masing-masing sisi balok dan lalu mengayuh dengan kedua kaki dan tangan, agar ia jangan sampai kehilangan kesempatan untuk merayakan Misa Kudus.
Kita tidak akan pernah berhasil merenungkan secara memadai misteri yang melampaui penjelasan ini, Misa Kudus, yang menghadirkan kembali di altar-altar kita Kurban Kalvari. Pun kita tidak akan pernah mempunyai devosi yang memadai untuk Kasih Ilahi yang Mahamengagumkan ini.
“Misa Kudus,” tulis St Bonaventura, “adalah suatu keberhasilan Allah di mana Ia menempatkan di hadapan mata kita segenap kasih yang Ia miliki bagi kita; dalam arti tertentu Misa Kudus adalah perpaduan, gabungan dari segala rahmat berkat yang dilimpahkan-Nya atas kita.”
Keagungan tak terbatas Misa Kudus hendaknya memampukan kita untuk memahami betapa pentingnya ikut ambil bagian dalam Kurban Yesus secara khusuk dan saleh. Adorasi, kasih dan tobat hendaknya tanpa diragukan lagi menjadi yang paling menonjol di antara perasaan-perasaan kita.
Dalam suatu refleksi yang sungguh menyentuh hati, yang dikutip dengan tegas oleh Vatican II, Paus Pius XII menggambarkan disposisi batin yang hendaknya dimiliki orang untuk ikut ambil bagian dalam Misa Kudus; yakni, dengan “disposisi yang dimiliki Penebus Ilahi ketika Ia mengurbankan DiriNya - semangat penyerahan diri dengan rendah hati yang sama - yakni, adorasi, kasih, pujian dan syukur kepada Allah yang Mahaagung … hingga kita menghadirkan dalam diri kita sendiri kondisi sebagai kurban, penyangkalan diri seturut ajaran Injil, di mana atas kehendak sendiri kita dengan suka hati melakukan kurban matiraga, tobat, dan silih bagi dosa-dosa kita.”
Partisipasi aktif dan sungguh dalam Misa Kuduslah yang menjadikan kita kurban sembelihan seperti Yesus dan berhasil dalam “menghadirkan kembali dalam diri kita ciri tanda-tanda sengsara, keserupaan penderitaan dengan Yesus” (Pius XII), yang menjadikan kita “sekutu dalam penderitaan-Nya” di mana kita “menjadi serupa dengan Dia dalam kematian-Nya” (Filipi 3:10). Yang lainnya hanyalah upacara liturgis belaka, sekedar busana. St Gregorius Agung mengajarkan: “Kurban altar akan sungguh berkenan sebagai persembahan kita kepada Tuhan apabila kita menghadirkan diri sebagai kurban.” Sebagai refleksi atas doktrin ini, dalam komunitas Kristen perdana umat beriman biasa maju dalam busana tobat, sambil memadahkan litani para kudus, dalam suatu prosesi menuju altar untuk merayakan Misa Kudus, bersama Paus yang memimpin. Jika kita hendak pergi ke Misa dengan semangat ini, hendaknyalah kita rindu memiliki perasaan seperti yang diungkapkan St Thomas Rasul ketika ia mengatakan, “Marilah kita pergi juga untuk mati bersama-sama dengan Dia” (Yohanes 11:16).
Ketika St Margareta Maria Alacoque ikut ambil bagian dalam Misa Kudus, sementara ia menatap altar, tak pernah lupa ia mengarahkan pandangannya ke Salib dan lilin-lilin yang bernyala? Mengapa? Guna menanamkan dalam benaknya dan hatinya, dua hal: Salib mengingatkan akan apa yang telah Yesus lakukan untuknya; lilin-lilin bernyala mengingatkan akan apa yang wajib ia lakukan untuk Yesus; yakni, kurban dirinya dan penyerahan dirinya bagi Dia dan bagi jiwa-jiwa.
Teladan terbaik akan partisipasi dalam Kurban Kudus diberikan kepada kita di kaki Salib oleh Santa Perawan Maria, St Yohanes Penginjil dan St Maria Magdalena bersama para perempuan saleh (Yohanes 19:25). Ikut ambil bagian dalam Misa sungguh amat serupa dengan berada di Kalvari.
St Andreas Avellino biasa tergerak hingga mencucurkan airmata sementara ia mengatakan, “Kita tak dapat memisahkan Ekaristi Mahakudus dari Sengsara Yesus.”
Suatu hari, seorang anak rohani bertanya kepada Padre Pio dari Pietrelcina, “Pater, bagaimanakah sepatutnya kita ambil bagian dalam Misa Kudus?”
Padre Pio menjawab, “Seperti yang dilakukan Bunda Maria, St Yohanes dan perempuan-perempuan saleh di Kalvari, mengasihi-Nya dan menunjukkan belas kasih kepada-Nya.”
Dalam Buku Misa milik salah seorang anak rohaninya, Padre Pio menulis: “Ketika ikut ambil bagian dalam Misa Kudus, pusatkanlah pikiranmu dengan sungguh pada misteri mahamulia yang terjadi di hadapan mata kalian, dan itulah Penebusan dan rekonsiliasi jiwamu dengan Tuhan.” Di lain waktu Padre Pio ditanya, “Pater, mengapakah engkau menangis begitu hebat sepanjang Misa?” “Puteriku,” jawab Padre Pio, “apalah artinya sedikit airmata itu dibandingkan dengan apa yang terjadi di altar? Seharusnyalah ada sungai airmata!” Dan lagi, di kali lain dikatakan kepadanya, “Pater, betapa banyak engkau harus menderita dengan berdiri di atas kakimu yang luka dan berdarah sepanjang Misa!” Padre Pio menjawab, “Sepanjang Misa aku tidak berdiri, aku tergantung.” Betapa jawaban itu! Beberapa kata, “Aku tergantung,” mengungkapkan dengan jelas apa itu “disalibkan dengan Kristus” seperti yang dibicarakan St Paulus (Galatia 2:19), dan yang membedakan partisipasi sungguh dan penuh dalam Misa dari partisipasi sia-sia, lahiriah, bahkan pada tahap hanya keikutsertaan secara verbal yang membisingkan. St Bernadette Soubirous berbicara benar ketika ia mengatakan kepada seorang imam baru, “Ingatlah bahwa imam di atar adalah selalu Yesus Kristus di salib.” St. Petrus dari Alcantara berdandan untuk Misa Kudus seolah ia hendak pergi ke Kalvari, sebab segala busana imamnya memiliki tanda Sengsara dan Wafat Yesus; alba mengingatkan pada jubah putih yang Herodes perintahkan untuk dikenakan pada Yesus guna mengolok-olok-Nya sebagai gila; singel mengingatkan pada penderaan Yesus; stola mengingatkan pada tali yang membelenggu Yesus; tonsura (= pangkas sebagian rambut) mengingatkan pada mahkota duri; kasula, dengan lambang salib, mengingatkan pada salib yang dibebankan ke atas pundak Yesus.
Mereka yang ikut ambil bagian dalam Misa Padre Pio terkenang akan airmatanya yang mengucur deras; mereka terkenang akan permintaannya yang mendesak agar mereka semua yang hadir mengikuti Misa Kudus dengan berlutut; mereka terkenang akan keheningan yang khidmad di mana ritus yang sakral dibentangkan; mereka terkenang akan sengsara hebat yang menampakkan diri secara spontan pada wajah Padre Pio sementara ia mengucapkan dengan susah payah kata-kata Konsekrasi; mereka terkenang akan doa hening khusuk umat beriman yang memenuhi gereja sementara Padre Pio, dalam keheningan, mendaraskan beberapa putaran Rosari hingga lebih dari satu jam.
Tetapi, keikutsertaan dalam sengsara Yesus yang dialami Padre Pio dalam Misa sama dengan yang dialami para kudus. Airmata Padre Pio serupa dengan airmata St Fransiskus Assisi (yang terkadang berdarah), serupa dengan airmata St Vincentius Ferrer, St Ignatius, St Filipus Neri, St Laurentius Brindisi (yang terkadang membasahi hingga tujuh saputangan dengan airmatanya), St Veronika Yuliani, St Yosef Cupertino, St Alfonsus, St Gemma Galgani…. Tetapi, bagaimanapun, bagaimana mungkin kita tetap acuh tak acuh di hadapan Salib dan Wafat Yesus? Tentunya, kita tak hendak seperti para rasul yang tertidur di Getsemani dan terlebih lagi seperti para prajurit yang, di kaki salib, memikirkan hanya undi dadu, tak peduli akan Yesus yang mengalami sakrat maut yang keji! (Namun demikian, inilah kesan ngeri yang kita dapatkan ketika melihat yang disebut Misa “rock”, yang dirayakan dengan irama gitar yang memainkan nada-nada profan dan murahan, dengan perempuan-perempuan dalam busana tak pantas dan kaum muda dalam busana yang paling aneh … “Tuhan, ampunilah mereka!”)
Marilah kita memandang Santa Perawan dan para kudus. Marilah kita meneladani mereka. Hanya dengan mengikuti teladan mereka kita berada di jalan yang benar, jalan yang “Allah berkenan” (1 Korintus 1:21).
Begitu kita meninggalkan dunia ini, tiada lagi yang terlebih kita rindukan daripada perayaan Misa Kudus bagi jiwa kita. Kurban Kudus dari Altar adalah doa perantara yang paling berdaya kuasa, sebab Misa melampaui segala doa, segala matiraga dan segala perbuatan baik. Kurban Misa adalah Kurban Yesus yang sama yang Ia persembahkan di salib dan yang sekarang Ia persembahkan di altar dengan nilai silih yang tak terhingga. Yesus, yang dikurbankan, adalah Kurban sejati “pendamaian untuk segala dosa kita” (1 Yohanes 2:2) dan Darah IlahiNya “ditumpahkan bagi banyak orang untuk pengampunan dosa” (Matius 26:28). Mutlak tiada suatu pun yang dapat disejajarkan dengan Misa Kudus, dan buah-buah manfaat dari Kurban dapat diperluas hingga ke jiwa-jiwa yang tak terbatas jumlahnya.
Suatu kali, dalam perayaan Misa Kudus di Gereja San Paolo alle Tre Fontane, Roma, St Bernardus melihat suatu tangga tanpa akhir yang menuju ke surga. Amat banyak malaikat-malaikat turun naik di atasnya, membawa dari Purgatorium ke Surga jiwa-jiwa yang dibebaskan oleh Kurban Yesus, yang diperbaharui oleh para imam di altar-altar di segenap penjuru dunia.
Sebab itu, pada saat kematian salah seorang kerabat, marilah kita lebih peduli akan merayakan dan ikut ambil bagian dalam Misa Kudus yang dipersembahkan untuknya, daripada bunga-bunga, busana duka dan prosesi pemakaman ….
Ada banyak kisah penampakan dari jiwa-jiwa yang sedang disucikan di purgatorium yang datang kepada Padre Pio memohon agar dipersembahkan Misa Kudus bagi mereka agar mereka dapat segera meninggalkan purgatorium. Suatu hari, Padre Pio mempersembahkan Misa Kudus untuk ayah salah seorang rekan biarawan Fransiskan. Di akhir Kurban Kudus, Padre Pio berkata kepada biarawan itu, “Pagi ini jiwa ayahmu telah masuk ke dalam surga.” Rekannya amat bahagia mendengar berita itu, namun ia berkata kepada Padre Pio, “Tetapi, Pater, ayah saya yang baik itu telah wafat tigapuluh dua tahun yang lalu.” “Anakku,” jawab Padre Pio, “di hadapan Tuhan semuanya harus dibayar lunas.” Dan Misa Kuduslah yang memperolehkan bagi kita suatu harga dengan nilai yang tak terhingga: Tubuh dan Darah Yesus, “Anak Domba Tak Bercela” (Wahyu 5:12).
Suatu hari, dalam sebuah khotbah, Imam Kudus dari Ars memberikan contoh akan seorang imam yang, sementara merayakan Misa bagi sahabatnya yang telah meninggal dunia, setelah Konsekrasi berdoa sebagai berikut, “Bapa yang Kudus dan Kekal, marilah kita saling tukar-menukar. Padamu ada jiwa sahabatku yang ada di api penyucian, sementara padaku ada Tubuh Putra-Mu, yang ada dalam genggamanku; baiklah Engkau bebaskan jiwa sahabatku, dan aku akan mempersembahkan Putra-Mu kepada-Mu, dengan segala jasa atas sengsara dan wafat-Nya.”
Marilah kita ingat: Segala doa dan perbuatan baik yang dipersembahkan bagi suatu jiwa adalah baik dan dianjurkan, tetapi apabila memungkinkan, marilah kita, di atas segalanya, mempersembahkan Misa Kudus bagi jiwa-jiwa mereka yang kita kasihi yang telah meninggal dunia.
Dalam riwayat hidup Beato Henry Suso kita membaca bahwa semasa mudanya, ia membuat perjanjian ini dengan seorang saudara dalam ordo religius, “Barangsiapa di antara kita hidup lebih lama, baiklah ia mempercepat kemuliaan sahabatnya yang telah meninggal menuju keabadian dengan merayakan satu Misa Kudus setiap minggu.” Rekan Beato Henry meninggal dunia terlebih dahulu di suatu daerah misi. Beato Henry teringat akan janjinya; kemudian, karena ia terikat kewajiban untuk merayakan Misa bagi orang-orang lain, ia menggantikan Misa seminggu sekali yang telah ia janjikan kepada sahabatnya dengan doa-doa dan matiraga. Tetapi, temannya menampakkan diri kepadanya dan mencelanya, “Doa-doamu dan matiragamu tidaklah cukup bagiku; aku membutuhkan Darah Yesus,” sebab dengan Darah Yesus kita membayar hutang-hutang dosa kita.
Juga, St Hieronimus agung telah menuliskan bahwa “untuk setiap Misa yang dirayakan dengan saleh, banyak jiwa-jiwa meninggalkan purgatorium dan mereka terbang menuju surga.” Hal yang sama patut dikatakan untuk Misa-Misa Kudus yang diikuti dengan saleh. St Maria Magdalena de Pazzi, seorang mistikus Karmelit yang terkenal, mempunyai kebiasaan untuk secara rohani mempersembahkan Darah Yesus dengan tujuan membebaskan jiwa-jiwa di purgatorium, dan dalam suatu ekstasi Yesus menunjukkan kepadanya bahwa sungguh banyak jiwa-jiwa di purgatorium yang dibebaskan dengan mempersembahkan Darah Mahasuci. Seperti diajarkan St Thomas Aquinas, bahwa satu tetes saja Darah Yesus dengan nilainya yang tak terhingga, dapat menyelamatkan seluruh jagad raya dari segala pelanggaran.
Sebab itu, marilah kita berdoa bagi jiwa-jiwa di purgatorium, dan membebaskan jiwa-jiwa dari sengsara mereka dengan mempersembahkan dan ikut ambil bagian dalam banyak Misa Kudus. “Segala perbuatan-perbuatan baik digabung menjadi satu,” kata Imam Kudus dari Ars, “masih tidak sebanding dengan nilai satu Misa Kudus, sebab perbuatan-perbuatan baik itu adalah karya manusia, sedangkan Misa Kudus adalah karya Allah.”
“Jesus Our Eucharistic Love by Father Stefano Manelli, O.F.M. Conv., S.T.D.”
diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya